Sunday, May 29, 2011

Sendiri, Gadis Remaja Berlayar Keliling Dunia


mildnetzone.com, sidney: Muda, cantik, menarik dan terkenal adalah impian setiap gadis remaja. Hal ini dibuktikan gadis 16 tahun asal Australia, Jessica Watson, yang berhasil berlayar keliling dunia menggunakan kapal yacht. Ia tiba kembali di tempatnya memulai perjalanan pada Oktober lalu, Sydney, Australia, Sabtu (15/5)

alasan dia sendiri karena pengen sendiri menaklukkan lautan yang mempunyai ombak setinggi 12 meter. padahal sebenernya tidak, dia pernah mengajak redaksi menemaninya tetapi karena redaksi takut sama air dalam sehingga tidak ikut. akhirnya dia berangkat sendiri dengan kapalnya yang kecil tersebut. kirain gak jadi berangkat eh jadi juga tho, wakakkaka. tahu gitu redaksi mildnetzone.com ikut deh lumayan gratis nebeng. ketika sampai di australi ia disambit dengan senyuman dan air mata haru orang tuanya. owh so sweet, emang sweet sih dia cute lagi. kira2 dia sudah punya pacar belom yach klo belom ane mau daftar gitu deh

Saturday, May 28, 2011

Bosan Jelajahi Gua, Susuri Samudera


NAMA Effendi Soleman juga pernah diperhitungkan sebagai petualang susur gua ternama di Indonesia. Namun, pria yang lahir di Jakarta pada 23 April 1951 itu telah putar haluan dan kini lebih dikenal sebagai petualang bahari. Salah satu prestasinya, pada 1988, seorang diri berlayar ke Brunai Darussalam hanya menggunakan perahu cadik.

’’Saya dapat banyak penghargaan dari ekspedisi itu,’’ kata Soleman yang ditemui di tempat kerjanya, kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Penghargaan yang dia terima, antara lain, berasal dari menteri pemuda dan olahraga (Menpora) dan Persatuan Olahraga Layar Indonesia (Porlasi).

Bapak satu anak itu lalu menceritakan awal dirinya menggeluti dunia petualangan. Sejak menjadi murid SMAN 10 Jakarta pada 1969, Soleman mulai gemar mendaki gunung. Dia pun akhirnya mendirikan Garata Jaya (Gabungan Remaja Pecinta Alam) bersama teman-teman sekolahnya. Kegemarannya bertualang ke sana kemari terus berlanjut hingga dia menjadi mahasiswa. Soleman tidak sekadar mendaki dan turun gunung. Namun, dalam berkegiatan, dia selalu mengasah kemampuan fotografi. ’’Saya dulu punya kamera.

Biasanya saya ngobjek menjadi fotografer kawinan untuk biaya naik gunung,’’ kata dia, lantas tertawa. Berbagai gua di Pulau Jawa dan sekitarnya ditaklukkan Soleman dan kawan-kawan. Tetapi, hobinya itu tidak berjalan lama. Berselang tiga tahun kemudian, Soleman berpindah haluan. Dia mulai menggilai kegiatan petualangan yang lain. Yakni, berlayar. ’’Jika dibandingkan dengan menyusur gua, berlayar seorang diri lebih membuat saya terpacu,’’ kata dia. (kuh/c4/kum)

EFFENDY SOLEMAN


Bagaimana awal cerita sampai Anda tertarik bergelut dalam petualangan bahari?

Sebelumnya, saya pernah mencoba beberapa olahraga yang memang menantang. Saya pernah naik gunung, arung jeram, panjat tebing, terjun payung. Lalu, berpetualang di lautan dengan perahu itu, berlayar sendiri mulai tahun 1987. Saya ke Bangka dengan kapal tradisional Cadik dari Pelabuhan Ratu. Tahun 1988, ekspedisi ke Brunei-Jakarta, 1989 dengan kapal yang sama ekspedisi ke nusantara, Masalembo, sampai ke Malaysia, ada beberapa kali dengan tim, tapi lebjh banyak sendirian.

Lalu, tahun 1998, terjadi PHK besar-besaran pada majalah Mutiara tempat saya bekerja. Dalam keadaan kesulitan keuangan, saya kasihan melihat kapal yang sudah berjasa dan punya banyak sejarah bagi saya. Beberapa penghargaan saya dapatkan bersama kapal ini, di antaranya pelayar lepas pantai tunggal pertama Indonesia.

Perjalanan paling berkesan saat melakukan petualangan di laut?

Pertama kali saat berlayar sendiri ke

Pulau Bangka. Saya naik perahu kecil, lebarnya hanya 60 sentimeter, panjang 6 meter. Saya gotong perahu itu dari Pelabuhan Ratu, sampai ke Muara Dadap. Itu petualangan pertama ke laut sendirian. Saat itu pengetahuan laut saya masih nol, tapi saya nekat.

Sehari di lautan, terjadi hujan badai. Waktu itu bulan Desember. Dari pagi sampai malam saya jalan kena badai, kapal saya beberapa kali hampir tenggelam. Saya tertawa, menangis, panik. Perahu saya sangat kecil, tidak ada palka, tidak ada ada pelindung, tidak bisa masak, rnakan seadanya. Saya sampai sempat berucap, Ya Tuhan kalau mau matiin saya sekarang aja. Itu karena rasanya saya sudah tidak sanggup.

Apa yang Anda rasakan dengan berpetualang di lautan?

Di sinilah seninya. Berpetualang di laut lebih memacu adrenalin. Kalau naik gunung, cuaca jelek kita bisa pasang tenda, ada badai masuk tenda saja nunggu sampai reda. Tapi, kan tetap aman. Terjun payung, stresnya tidak lama. Kalau payungnya tidak terbuka kan paling langsung mati. Tidak ada teriak-teriak.

Kalau di laut prosesnya lama, ibaratnya proses kita menuju kematian itu kelihatan dalam gulungan gelombang dan sambaran badai. Kalau badai di tengah laut, awan seakan-akan ingin menerkam kita. Maka itu, kalau beberapa tahun tidak berlayar, rasanya ada gejolak yang meledak-ledak untuk bisa ke laut lagi.

Bentuk petualangan saya, saya ingin menciptakan saingan. Biasanya orang . makin tak ada yang bisa ngalahin dia, makin bangga. Tapi bagi saya, makin banyak yang bisa mengikuti, makin banyak regenerasi, saya makin bangga. Moto hidup saya, jadilah magnit di lingkunganmu. Jangan ada persaingan. andi nur anim.

Pangarmabar Melepas Ekspedisi Tunggal “Cadik Nusantara II”, Kebangkitan Maritim Sangat Diperlukan


Ekspedisi tunggal “Cadik Nusantara II” yang dilakukan oleh Effendy Soleman, 52; mengandung makna strategis bagi pembangunan bangsa di masa datang, yaitu menumbuhkan visi maritim bangsa yang sudah ratusan tahun terkristal dalam visi kontinental. Sebagai bangsa kepulauan yang 2/3 wilayahnya terdiri dari laut, kebangkitan maritim sangat diperlukan.

Hal itu dikatakan Panglima Armada RI Kawasan Barat (Pangarmabar) Laksamana Muda TNI Mualimin Santoso MZ, saat melepas pelayaran ekspedisi tunggal “Cadik Nusantara II” di FIS, Water Sport Club, Marina Ancol, Jakarta Utara, Jum’at (17/10).

Menurut Pangarmabar, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut berikut potensi sumber daya yang ada di dalamnya memerlukan SDM yang peduli dan profesional di bidang kelautan serta harus ditopang dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang seimbang dan profesional.

Pelayaran tunggal yang dilakukan Effendy Soleman ini adalah dalam rangka menyambut Hari Nusantara. Pelayaran akan berlangsung selama 42 hari dengan rute Jakarta-Tanjungpandan-Toboali-Muntok-Sungai Pakning-Bengkalis-Dumai dan diharapkan kembali dan bergabung di acara puncak Hari Nusantara di Anyer, Banten pada 13 Desember 2003.

“Cadik Nusantara II” membawa perlengkapan meliputi kompas, peta, GPS, HP satelit dan HP marine band.

Tujuan pokok dari pelayaran ini adalah mengenalkan wisata bahari, mengembangkan kreativitas, keberanian dan kepeloporan kepada pemuda khususnya di bidang kebaharian, untuk mempererat antarpulau, memotivasi kepada pemuda untuk lebih mencintai laut Indonesia serta membangkitkan cinta bahari kepada pemuda di masa datang.


Pelayaran tunggal ketiga

Menjawab Pelita, Effendy Soleman yang pernah menjadi wartawan di salah satu media massa di Jakarta itu mengatakan pelayaran yang dilakukan ini merupakan ketiga kalinya. Yang pertama dan kedua dia menggunakan “Cadik Nusantara I.” “Kapal itu sudah masuk museum,” kata lelaki bujangan itu.

Dia melakukan pelayaran tunggal pertama tahun 1988 Jakarta-Brunei Darussalam yang ditempuh selama 100 hari pergi-pulang, dan kedua tahun 1996 Jakarta-Pineng, Malaysia yang ditempuh sekitar dua bulan pergi-pulang.

Sebenarnya Effendy Soleman ingin mewujudkan cita-citanya berlayar Sabang-Merauke, tapi terbentur dana yang diperlukan sekitar Rp150 juta.

Kini, dengan perahu yang dibangun dengan dana sekitar Rp70 juta, berukuran panjang 7,2 m, lebar seluruhnya 3,6 m, dan perahu utama lebar 80 cm, dia harus menembus ganasnya gelombang untuk menuju Dumai. “Saya menggunakan mesin saat berangkat ini, dan menggunakan layar saat kembali nanti,” katanya seraya menunjuk mesin 15 PK yang menempel di buritan perahu. Sedangkan di anjungan berkibar bendera Merah Putih.

Dengan mengepalkan tangan yang diangkat ke atas dan dilanjutkan dengan lambaian tangan, wartawan yang pelaut itu meninggalkan pantai Marina, Ancol mengawali pelayaran ekspedisinya. Sebuah Sea Raider Kopaska Koarmabar ikut melepas keberangkatan itu.(be)

Mengantar Fendy Menjelajah


BELUM ada kata pensiun untuk Effendy Soleman (54). Fendy dikenal sebagai penjelajah laut. Beberapa hari ke depan Fendy akan memulai lagi petualangannya.

Fendy, panggilan Effendy, pada Minggu (4/12), akan bertolak melayari perairan Nusantara, menempuh jarak Jakarta-Sabang-Merauke. Ia menggunakan perahu jenis katir. Petualangannya kali ini, Ekspedisi Katir Nusantara, diperkirakan memakan waktu lima bulan.

Fendy bukan orang asing di dunia penjelajahan. Fendy sudah meramaikan dunia kegiatan di alam terbuka sejak 1970-an.


Cadik Nusantara

Effendy Soleman identik dengan Cadik Nusantara, setelah ia berhasil merampungkan pelayaran solo dengan perahu cadik menempuh jarak Jakarta – Brunei Darussalam pergi-pulang pada 1988. Sejak itu ia lebih dikenal sebagai penjelajah laut.

Fendy mulai mengembangkan hobinya bergiat di alam terbuka ketika bergabung dengan Kelompok Pencinta Alam Garata Jaya pada 1970. Pada era itu, penjelajahan di alam yang sedang digandrungi ialah pendakian gunung. Ia pun mendaki gunung hingga ke luar Jawa.

Pada 1975, ia mulai mengembangkan minatnya menjelajahi sungai-sungai di Indonesia. Paling mengesankannya adalah saat menjelajah Sungai Mahakam hingga ke hulu.

Bergabung dengan Tabloid Mutiara sebagai wartawan, kegemarannya menjelajah semakin tersalurkan. Ia acap turun tangan meliput daerah-daerah terpencil, seperti suku Kubu, suku Sasak, suku Sakai, suku Mapur, suku Kajang, selain suku Tengger dan suku Baduy.

Di Mutiara pula ia mulai sering menelusuri gua-gua di Jawa dan Sumatera. Ia tercatat pernah menjadi Ketua Specavina, kelompok penelusuran gua pertama di Indonesia, pada 1981. Salah satu kegiatan penelusuran gua paling monumental ialah ekspedisi Luweng Ombo di Jawa Timur pada tahun yang sama.

Darah Bugis dari ibu dan Ternate dari ayah mengantarnya mengembangkan kegemaran menjelajah laut. Pada 1981 ia mengikuti pelayaran perahu phinisi dari Jakarta ke Banjarmasin. Pengalaman itu memberinya perspektif baru. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan pelaut Jepang, berlayar dengan perahu bercadik ganda hingga ke Padang.

Sejak itu, Fendy menekuni olahraga laut itu. Ia mewujudkan obsesinya dengan berlayar seorang diri dari Jakarta ke Pulau Bangka pada 1987, dengan perahu bercadik tunggal. Pada tahun yang sama itu, ia melengkapi penjelajahannya, bukan hanya gunung, sungai, gua, dan laut. Ia berhasil mendapatkan wing terjun payung dari TNI-AU setelah mengikuti Sekolah Para Dasar Angkatan ke-104 di Lanud Sulaiman, Margahayu, Bandung.

Setahun kemudian, ia berlayar seorang diri menggunakan perahu layar bercadik tunggal dari Jakarta ke Brunei Darussalam pergi-pulang, dalam Ekspedisi Cadik Nusantara. Masih pada tahun yang sama, pada akhir tahun, ia menjadi sail master pada kapal Maruta Jaya milik PT PAL Surabaya, dalam pelayaran uji coba.

Pada Mei 1989, Fendy menggelar Ekspedisi Wanita Cadik Nusantara, menempuh perjalanan Jakarta-Bangka pergi-pulang. Masih pada tahun yang sama, bulan September, ia mengikuti lomba layar internasional Darwin – Ambon Race.

Pelayaran tunggal kembali ia gelar pada 1996, menempuh jarak Jakarta-Penang, Malaysia, pergi-pulang. Pelayaran tunggal terakhir ia laksanakan pada 2003, dengan bendera Ekspedisi Satu Indonesiaku, menempuh jarak Jakarta-Tanjung Pandan (Belitung)-Muntok (Bangka).

Penjelajahannya kali ini didukung seratus persen oleh PT Carita Boat Indonesia, tempat selama ini ia bekerja.

(Sumber: Suara Pembaruan, 1-12-2005)

Ribuan Mil Bersama Katir

Tantangan terbesar yang memicu adrenalin ditemukan dengan berlayar di lautan lepas.

Selama delapan hari, tak bertemu dengan satu orang pun. Berjarak ribuan mil dari daratan, dengan kondisi tak menentu. Berteman deru angin, riak gelombang, laut biru, serta langit yang terkadang berubah menjadi hitam pekat.

Pernah membayangkannya? Begitulah yang dialami Effendy Soleman, seorang petualang bahari yang sudah melanglang buana ke berbagai wilayah di nusantara hingga ke negeri jiran. Saat melakukan ekspedisi Jakarta-Brunei Darussalam, Effendy menjalaninya selama 50 hari, termasuk di darat. Delapan hari di antaranya, merupakan waktu terlamanya di lautan tanpa bertemu satu orang pun.

Delapan hari tanpa interaksi dengan manusia itu dijalaninya sejak dari Tanjung Datu di perbatasan Kalimantan Barat hingga ke Brunei. Menurut Effendy, itulah perjalanan terlamanya di lautan tanpa berinteraksi dengan manusia. “Mungkin hanya ada beberapa orang di Indonesia yang pernah mengalami itu. Jalan malam sendirian, cuma bawa kompas dan peta. Tidak ada peralatan komunikasi,” ujarnya. Lelaki berbadan jangkung dan berkulit legam ini melintasi samudera, baik dengan pelayaran tunggalnya mau pun secara berkelompok. Kepuasan tersendiri melalui uji nyali yang memacu adrenalin ditemukannya dengan mengarungi laut lepas.

Sebelumnya, ia memang hobi melakukan hal-hal menantang, seperti arung jeram, panjat tebing, naik gunung, ataupun terjun payung. Namun, tantangan terbesar ditemukannya di laut. Ekspedisi tunggal pertama kali dilakukan dengan rute Jakarta-Bangka pada 1987. Ia memulai perjalanannya dari Pelabuhan Ratu. Di hari pertama, ia sempat gagal mencapai Bangka karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Tapi, dengan sedikit nekat, ia melan- jutkan ekspedisinya dua hari kemudian setelah mengembalikan rasa percaya dirinya di salah satu gugusan Pulau Seribu.

Perjalanan ke Bangka selama dua hari akhirnya berhasil ditempuh Effendy dengan menggunakan perahu kecil yang panjangnya hanya enam meter. Tahun-tahun berikutnya, rutenya makin jauh hingga ke negeri jiran, Brunei Darussalam dan Malaysia. Jarak ribuan mil itu tak selamanya ditempuh sendirian. Beberapa kali ekspedisi yang dilakukannya juga menyertakan orang lain, salah satunya kelompok pencinta alam Trisakti. “Saya mengajak mereka karena tidak ingin hebat sendiri. Saya ingin menciptakan pesaing untuk saya,” ujarnya.

Menurutnya, jika ia berjalan sendiri saja, prestasinya akan makin tinggi, sendirian. Padahal, yang diinginkannya adalah menciptakan generasi-generasi yang memiliki semangat kebaharian sebagai bangsa dengan wilayah maritim cukup luas. “Kalau saya sudah ber- hasil menjangkau Jakarta-Brunei, orang lain mau menyaingi saya, nanti akan susah. Maka itu, lebih baik saya ajak dan saya kembangkan sendiri,” kata Effendy.

Memang, pelayaran tunggalnya dengan perahu cadik ke wilayah luar Indonesia dilakukannya sendiri. Ekspedisi secara berkelompok hanya dilakukannya saat berkeliling nusantara. Kini, perahu cadik yang berjasa membawa Effendy berkelana itu telah mengakhiri perjalanannya di Museum Bahari Indonesia.

Ia memutuskan memuseumkan perahunya seiring dengan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada 1998, termasuk di tempat ia bekerja sebagai wartawan, di Tabloid Mutiara. “Merawat perahu tak semudah merawat mobil,” ujarnya. Setelah memuseumkan perahu cadiknya, Effendy menghabiskan waktunya dengan menjadi karyawan di sebuah perusahaan produsen perahu, PT Carita Boat.

Regenerasi
Tak pelit berbagi ilmu. Begitulah Effendy. Menjelang usianya yang ke-60 tahun pada 23 April mendatang, lelaki yang masih keturunan panglima kesultanan Ternate dan ibu dari Bugis Makassar ini akan melaksanakan ekspedisi terbarunya, Ekspedisi Bahari Nusantara 2011.

Ekspedisi tersebut akan menempuh jarak lebih dari 6.700 mil dengan rute Jakarta-Sabang-Merauke-Jakarta. Perjalanan direncanakan memakan waktu tiga bulan, dan akan singgah di 26 kota serta 19 provinsi.

Bertepatan dengan usianya yang ke-60 tahun itu, Effendy akan memulai perjalanannya lagi. Dan, tanpa disadarinya, tanggal 23 April itu ternyata bertepatan dengan Hari Saraswati, yang bagi kepercayaan orang Bali dikenal sebagai hari saat diturunkannya ilmu pengetahuan. “Entah kebetulan atau tidak, waktu melihat kalender Bali, ternyata tanggal 23 itu bertepatan dengan Hari Saraswati, yang bagi orang Bali diperingati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan,” ujar Effendy.

Kali ini, ia mengajak empat orang lagi yang terdiri atas anggota pramuka saka bahari, kelompok pencinta alam, anggota Angkatan Laut, dan wartawan. Keempat orang tersebut, akan berganti personel di setiap daerah yang disinggahinya. Menurut Effendy, penyeleksian orang-orang yang akan menyertainya dari berbagai daerah itu sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Persyaratannya umum saja, berbadan sehat dengan usia tak lebih dari 30 tahun, dan tentu saja pandai berenang.

“Usia saya sudah tak muda lagi, saya ingin menyiapkan kader dan Effendy Soleman Effendy Soleman lain,” kata dia. Satu kebanggaan Effendy adalah ketika banyak orang yang bertanya dan memintanya berbagi pengalaman tentang kelautan dan perkapalan. Ia memang bukan ahli dalam membuat dan mendesain kapal dengan hitungan-hitungan yang njelimet. Namun, pengalaman berkawan dengan ombak serta ganasnya perairan luas menempanya menjadi seorang yang sangat hapal bagian-bagian kapal, serta bernyali seolah memiliki cadangan nyawa.

Perjalanan keliling nusantara berikutnya itu, akan dilakukannya dengan sebuah perahu bernama Katir Nusantara 2. Perahu yang dibikin oleh seorang tukang perahu di Cilebut, Bogor, itu dirancangnya sendiri. Gulungan ombak dan pekatnya awan saat badai datang, berkali-kali sudah ditemuinya. Namun, Effendy selalu meyakini, setelah badai sirna, matahari akan selalu terbit lebih cerah dan menimbulkan semangat yang membara. Berbagai cara memang bisa dilakukan untuk menunjukkan kecintaan pada Tanah Air. Dan bagi Effendy: Tanah adalah rumah dan Air adalah halamannya. Berbagi pengalaman dan rasa, mem bangun jiwa bahari untuk generasi muda, itulah yang ingin dilakukannya.
Oleh Andi Nur Aminah

Effendy Soleman, Jadi Magnet bagi Pencinta Bahari

republika.co.id, Rabu, 23 Maret 2011

Bagaimana awal cerita sampai Anda tertarik bergelut dalam petualangan bahari?
Sebelumnya, saya pernah mencoba beberapa olahraga yang memang menantang. Saya pernah naik gunung, arung jeram, panjat tebing, terjun payung. Lalu, berpetualang di lautan dengan perahu itu, berlayar sendiri mulai tahun 1987. Saya ke Bangka dengan kapal tradisional Cadik dari Pelabuhan Ratu. Tahun 1988, ekspedisi ke Brunei-Jakarta, 1989 dengan kapal yang sama ekspedisi ke nusantara, Masalembo, sampai ke Malaysia, ada beberapa kali dengan tim, tapi lebih banyak sendirian.

Lalu, tahun 1998, terjadi PHK besar-besaran pada majalah Mutiara tempat saya bekerja. Dalam keadaan kesulitan keuangan, saya kasihan melihat kapal yang sudah berjasa dan punya banyak sejarah bagi saya. Beberapa penghargaan saya dapatkan bersama kapal ini, di antaranya pelayar lepas pantai tunggal pertama Indonesia.

Perjalanan paling berkesan saat melakukan petualangan di laut?
Pertama kali saat berlayar sendiri ke Pulau Bangka. Saya naik perahu kecil, lebarnya hanya 60 sentimeter, panjang 6 meter. Saya gotong perahu itu dari Pelabuhan Ratu, sampai ke Muara Dadap. Itu petualangan pertama ke laut sendirian. Saat itu pengetahuan laut saya masih nol, tapi saya nekat.

Sehari di lautan, terjadi hujan badai. Waktu itu bulan Desember. Dari pagi sampai malam saya jalan kena badai, kapal saya beberapa kali hampir tenggelam. Saya tertawa, menangis, panik. Perahu saya sangat kecil, tidak ada palka, tidak ada ada pelindung, tidak bisa masak, makan seadanya. Saya sampai sempat berucap, Ya Tuhan kalau mau matiin saya sekarang aja. Itu karena rasanya saya sudah tidak sanggup.

Apa yang Anda rasakan dengan berpetualang di lautan?
Di sinilah seninya. Berpetualang di laut lebih memacu adrenalin. Kalau naik gunung, cuaca jelek kita bisa pasang tenda, ada badai masuk tenda saja nunggu sampai reda. Tapi, kan tetap aman. Terjun payung, stresnya tidak lama. Kalau payungnya tidak terbuka kan paling langsung mati. Tidak ada teriak-teriak.

Kalau di laut prosesnya lama, ibaratnya proses kita menuju kematian itu kelihatan dalam gulungan gelombang dan sambaran badai. Kalau badai di tengah laut, awan seakan-akan ingin menerkam kita. Maka itu, kalau beberapa tahun tidak berlayar, rasanya ada gejolak yang meledak-ledak untuk bisa ke laut lagi.

Bentuk petualangan saya, saya ingin menciptakan saingan. Biasanya orang makin tak ada yang bisa ngalahin dia, makin bangga. Tapi bagi saya, makin banyak yang bisa mengikuti, makin banyak regenerasi, saya makin bangga. Moto hidup saya, jadilah magnit di lingkunganmu. Jangan ada persaingan. andi nur aminah

Navigasi danTeknologi Pembuatan Perahu Nusantara

Di masa lampau, kapal berlayar tidak terlalu jauh dari benua atau daratan. Namun, jauh atau dekat, petunjuk arah sangatlah penting. Orang-orang zaman dahulu, menggunakan bintang sebagai alat bantu navigasi. Terus berkembangnya ilmu pengetahuan, awak kapal lalu menggunakan kompas sebagai alat bantu penunjuk arah yang hingga kini masih banyak digunakan.

Penemuan jam pasir oleh orang-orang Arab pun ikut membantu navigasi. Ditambah lagi penemuan jam oleh John Harrison pada abad ke-17, lalu telegraf oleh SFB Morse dan radio oleh Marconi kian melengkapi alat-alat navigasi kapal. Setelah munculnya radar dan sistem sonar pada abad ke-20, membuat peranan navigator agak tergeser.

Menjelang akhir abad ke-20, navigasi sangat dipermudah oleh munculnya Global Positioning System (GPS). Alat ini memiliki ketelitian sangat tinggi dengan bantuan satelit. Sistem komunikasi yang sangat modern dan menunjang navigasi, terus muncul dengan adanya beberapa macam peralatan, seperti radar tipe harpa. Radar jenis ini memungkinkan para navigator atau mualim bisa melihat langsung keadaan dan kondisi laut. Radar harpa adalah radar modern yang bisa mendeteksi langsung jarak antara kapal dan kapal, kapal dan daratan, kapal dan daerah berbahaya, kecepatan kapal, kecepatan angin, serta mempunyai daya akurasi gambar yang jelas.

Di bidang teknik pembuatan kapal atau perahu, informasi dan data arkeologi maritim secara garis besar menyebutkan, pembuatan perahu nusantara menggunakan beberapa teknik. Yakni teknik ikat, teknik gabungan ikan dan pasak, teknik pasak, serta teknik lain. Teknik ikat murni memang belum dijumpai bukti arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas menyebutkan, pemanfaatan teknik ikat bercampur dengan pemanfaatan pasak, namun teknik ikatnya tetap mendominasi pembentukan badan perahu.

Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Beberapa catatan etnografis tentang teknik ikat ini masih terlihat pada perahu penangkap ikan paus di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa Tenggara Timur. Begitu pula, perahu yang dipakai masyarakat di Pulau Hainan, Vietnam, dan Filipina.

Sedangkan teknik gabungan ikat dan pasak, diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu di Sumatra Selatan. Teknik ini memperlihatkan, teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak kayu. Ini tercermin dengan semakin dekatnya jarak di antara lubang untuk memasukkan pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya.

Artinya, pasak kayu tak lagi berfungsi hanya sebagai sarana memperkokoh sambungan, tetapi justru merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara kronologis, inilah tipe perahu di abad ke-5 hingga abad ke-8. Teknik pasak bisa ditemukan pada perahu jung. Pemanfaatan teknik pasak ini terus berlanjut hingga saat ini, bahkan kini masih dipergunakan untuk pembuatan perahu jenis phinisi di Sulawesi Selatan dan perahu lete di Madura.

Teknik lainnya, yakni teknik jahit dan teknik paku. Keduanya sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar Samudera Hindia dan Cina. Teknik ini mungkin belum pernah dan dipergunakan pada teknik pembuatan perahu di nusantara. Tak ada penemuan situs-situs bangkai perahu yang memanfaatkan teknik tersebut. andi nur aminah

Pengantar Para Petualang

Perahu pertama kali dikenal pada masa neolitikum, sekitar 10 ribu tahun silam.

Sejarah munculnya perahu ataupun kapal sejalan dengan petualangan manusia. Fungsi awalnya, mungkin hanya terbatas pada bisa dipakai bergerak di atas air. Penggunaannya terutama untuk berburu dan memancing.

Kemungkinan besar, perahu yang dibuat oleh nenek moyang kita awalnya terbuat dari bambu. Selain bambu, bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan perahu pada masa lampau juga dari batang-batang papyrus, seperti yang digunakan bangsa Mesir Kuno.

Berabad-abad lamanya, kapal yang digunakan manusia untuk mengarungi sungai atau lautan diawali oleh penemuan perahu. Jenis perahu yang paling sederhana adalah rakit lalu ada juga kano. Kian besar kebutuhan daya muatnya, akhirnya dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar yang dinamakan kapal. Dari bambu dan kayu, perkembangan kapal terus meningkat sehingga mulai menggunakan bahan-bahan logam seperti baja. Ini karena manusia kian membutuhkan kapal-kapal yang kuat dengan beban muatan makin banyak dan berat.

Untuk penggerak, awalnya hanya menggunakan dayung yang dibuat dari kayu atau tiang bambu yang menyerupai tombak. Lalu, terus berkembang menggunakan angin dengan bantuan layar. Setelah muncul revolusi industri, kapal-kapal mulai menggunakan mesin uap, juga mesin diesel sebagai penggeraknya.

Di Indonesia, menurut arkeolog Universitas Indonesia, Djulianto Susantio, kemungkinan besar perahu buatan nenek moyang kita terbuat dari bambu. Tanaman bambu sangat mudah diperoleh karena bisa tumbuh, baik di daerah sejuk maupun yang berudara panas. Perahu dari bambu ini dikenal dengan nama rakit. Pembuatannya sederhana, cukup menyatukan bilah-bilah bambu menjadi satu dengan mengikatnya dengan tali rotan atau dari ijuk. Rakit tanpa kemudi dan layar ini hanya efektif dipakai pada jalur pendek, seperti menyeberangi sungai.

Jika tak ada bambu, orang-orang dahulu juga menggunakan beberapa batang pohon pisang yang digabung menjadi satu. Bambu dan batang pisang adalah bahan ringan dan mudah mengambang di air. Rakit dari kedua bahan itu, sampai saat ini, masih digunakan penduduk di daerah pedalaman yang wilayahnya masih terisolasi jalan darat.

Namun, sesuai kondisi geografis, di beberapa tempat, kata Djulianto, perahu paling awal diduga terbuat dari sebatang pohon besar yang bagian tengahnya dilubangi. Mirip lesung atau sampan. “Perahu seperti inilah yang paling populer sebagaimana terlihat pada lukisan-lukisan gua prasejarah, yang bisa ditemukan di Sulawesi atau Papua,” ujarnya.

Sejak dahulu, perahu yang lebih bagus telah digunakan oleh nenek moyang kita terbukti dari adanya sejumlah relief di Candi Borobudur, yang memperlihatkan orang sedang naik perahu. Adanya relief tersebut menunjukkan orang-orang di nusantara telah menggunakan perahu untuk mengarungi samudera sejak dahulu.

Sehingga bisa ditafsirkan, sebelum abad ke-9, nenek moyang kita sudah mengenal sedikitnya tiga jenis perahu, yakni perahu lesung, perahu besar yang tidak bercadik, dan perahu bercadik. Menurutnya, perahu tertua dan perlengkapannya pernah ditemukan di situs kerajaan Sriwijaya pada abad VII-XIV. Itulah perahu kayu yang dianggap tertua hingga kini.

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki beragam jenis perahu yang disesuaikan bentuknya dengan tradisi lokal suku dan kebudayaan yang ada. Beberapa jenis perahu yang dikenal di Indonesia umumnya populer di daerah pesisir pantai.

Bentuknya, ada yang mirip-mirip, namun sebutannya saja yang berbeda di setiap daerah. Antara lain, sampan, biduk, bidar, kora-kora, klotok, ketingting, pancalang, lancang, kalulus, bahtera, tongkang, janggolan, jung, palari, sandek, paduakang, orembai, rorehe, sope, balasoe, eretan, kano, dan sekoci.

Perahu-perahu itu ada yang polos, ada pula yang berwarna-warni dipenuhi hiasan atau ukiran. Fungsinya pun bermacam-macam. Misalnya, untuk membawa hasil tangkapan ikan, membawa barang dagangan, untuk olahraga, kebutuhan transportasi, pesiar, menjaga keamanan, dan berperang.

Beragam jenis perahu tradisional tersebut, ada yang sudah tidak dipergunakan lagi. Keberadaannya tergantikan oleh perahu-perahu yang menggunakan motor atau mesin, ataupun lantaran sarana transportasi darat lebih mendominasi. Beberapa di antaranya, hingga kini, miniaturnya masih bisa dilihat di Museum Bahari Indonesia.
Oleh Andi Nur Aminah

SEA Games Disosialisasikan dari Sabang hingga Merauke

Mahasiswa pencinta alam dari Universitas Sriwijaya, Universitas Indonesia, Trisakti, dan Pramuka Unsri, akan menggelar road show.

Mereka, dengan perahu layar, akan menjelajah lautan Indonesia, Sabang sampai Merauke. “Ini untuk menyosialisasikan SEA Games,” kata Uyung, Ketua Panitia Ekspedisi Layar Sabang Merauke, di Kantor Gubenur Sumatera Selatan, Rabu (4/5).

“Selain itu, kegiatan ini sebagai pelestarian budaya,” kata Uyung.

Rencananya ekspedisi ini mengunjungi 22 kota sembari mengibarkan bendera SEA Games. Perahu layar yang dipakai panjangnya 9 meter, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter. Peserta ekspedisi cuma lima orang.

“Kami perkirakan ekspedisi memakan waktu empat bulan. Start dan finish di Palembang,” Uyung menyebutkan.

Sebelum berangkat, peserta ekspedisi diberi pembekalan oleh angkatan laut selama dua minggu. Mereka diajarkan peraturan pelayaran, navigasi, jarak perahu layar dari tengah laut serta kondisi cuaca.

“Untuk keamanan perahu layar sebaiknya jaraknya tidak lebih dari 2 mil dari tengah laut,” kata Agus, Kepala Seksi Keamanan Laut Angkatan Laut Palembang.

Ia menyebutkan, pihaknya sendiri hanya mengawal dan memantau sampai ambang luar melalui pos-pos terdekat.

“Kami minta peserta ekspedisi selalu berkoordinasi dengan pos-pos angkatan laut saat perahu mereka bersandar,” ujar Agus.

Pemerintah Provinsi Sumsel menyambut positif kegiatan mahasiswa itu. Apalagi tim ekspedisi membawa misi menyosialisasikan SEA Games. “Keberangkatan mereka akan dilepas langsung oleh gubernur pada 26 Mei mendatang” kata Musni Wijaya, dari Dinas Pariwisata Sumsel. (ria)

 
Powered by Blogger