Di masa lampau, kapal berlayar tidak terlalu jauh dari benua atau daratan. Namun, jauh atau dekat, petunjuk arah sangatlah penting. Orang-orang zaman dahulu, menggunakan bintang sebagai alat bantu navigasi. Terus berkembangnya ilmu pengetahuan, awak kapal lalu menggunakan kompas sebagai alat bantu penunjuk arah yang hingga kini masih banyak digunakan.
Penemuan jam pasir oleh orang-orang Arab pun ikut membantu navigasi. Ditambah lagi penemuan jam oleh John Harrison pada abad ke-17, lalu telegraf oleh SFB Morse dan radio oleh Marconi kian melengkapi alat-alat navigasi kapal. Setelah munculnya radar dan sistem sonar pada abad ke-20, membuat peranan navigator agak tergeser.
Menjelang akhir abad ke-20, navigasi sangat dipermudah oleh munculnya Global Positioning System (GPS). Alat ini memiliki ketelitian sangat tinggi dengan bantuan satelit. Sistem komunikasi yang sangat modern dan menunjang navigasi, terus muncul dengan adanya beberapa macam peralatan, seperti radar tipe harpa. Radar jenis ini memungkinkan para navigator atau mualim bisa melihat langsung keadaan dan kondisi laut. Radar harpa adalah radar modern yang bisa mendeteksi langsung jarak antara kapal dan kapal, kapal dan daratan, kapal dan daerah berbahaya, kecepatan kapal, kecepatan angin, serta mempunyai daya akurasi gambar yang jelas.
Di bidang teknik pembuatan kapal atau perahu, informasi dan data arkeologi maritim secara garis besar menyebutkan, pembuatan perahu nusantara menggunakan beberapa teknik. Yakni teknik ikat, teknik gabungan ikan dan pasak, teknik pasak, serta teknik lain. Teknik ikat murni memang belum dijumpai bukti arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas menyebutkan, pemanfaatan teknik ikat bercampur dengan pemanfaatan pasak, namun teknik ikatnya tetap mendominasi pembentukan badan perahu.
Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Beberapa catatan etnografis tentang teknik ikat ini masih terlihat pada perahu penangkap ikan paus di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa Tenggara Timur. Begitu pula, perahu yang dipakai masyarakat di Pulau Hainan, Vietnam, dan Filipina.
Sedangkan teknik gabungan ikat dan pasak, diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu di Sumatra Selatan. Teknik ini memperlihatkan, teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak kayu. Ini tercermin dengan semakin dekatnya jarak di antara lubang untuk memasukkan pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya.
Artinya, pasak kayu tak lagi berfungsi hanya sebagai sarana memperkokoh sambungan, tetapi justru merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara kronologis, inilah tipe perahu di abad ke-5 hingga abad ke-8. Teknik pasak bisa ditemukan pada perahu jung. Pemanfaatan teknik pasak ini terus berlanjut hingga saat ini, bahkan kini masih dipergunakan untuk pembuatan perahu jenis phinisi di Sulawesi Selatan dan perahu lete di Madura.
Teknik lainnya, yakni teknik jahit dan teknik paku. Keduanya sampai saat ini masih dapat dijumpai di sekitar Samudera Hindia dan Cina. Teknik ini mungkin belum pernah dan dipergunakan pada teknik pembuatan perahu di nusantara. Tak ada penemuan situs-situs bangkai perahu yang memanfaatkan teknik tersebut. andi nur aminah
Saturday, May 28, 2011
Navigasi danTeknologi Pembuatan Perahu Nusantara


0 comments:
Post a Comment