Saturday, May 28, 2011

Ribuan Mil Bersama Katir

Tantangan terbesar yang memicu adrenalin ditemukan dengan berlayar di lautan lepas.

Selama delapan hari, tak bertemu dengan satu orang pun. Berjarak ribuan mil dari daratan, dengan kondisi tak menentu. Berteman deru angin, riak gelombang, laut biru, serta langit yang terkadang berubah menjadi hitam pekat.

Pernah membayangkannya? Begitulah yang dialami Effendy Soleman, seorang petualang bahari yang sudah melanglang buana ke berbagai wilayah di nusantara hingga ke negeri jiran. Saat melakukan ekspedisi Jakarta-Brunei Darussalam, Effendy menjalaninya selama 50 hari, termasuk di darat. Delapan hari di antaranya, merupakan waktu terlamanya di lautan tanpa bertemu satu orang pun.

Delapan hari tanpa interaksi dengan manusia itu dijalaninya sejak dari Tanjung Datu di perbatasan Kalimantan Barat hingga ke Brunei. Menurut Effendy, itulah perjalanan terlamanya di lautan tanpa berinteraksi dengan manusia. “Mungkin hanya ada beberapa orang di Indonesia yang pernah mengalami itu. Jalan malam sendirian, cuma bawa kompas dan peta. Tidak ada peralatan komunikasi,” ujarnya. Lelaki berbadan jangkung dan berkulit legam ini melintasi samudera, baik dengan pelayaran tunggalnya mau pun secara berkelompok. Kepuasan tersendiri melalui uji nyali yang memacu adrenalin ditemukannya dengan mengarungi laut lepas.

Sebelumnya, ia memang hobi melakukan hal-hal menantang, seperti arung jeram, panjat tebing, naik gunung, ataupun terjun payung. Namun, tantangan terbesar ditemukannya di laut. Ekspedisi tunggal pertama kali dilakukan dengan rute Jakarta-Bangka pada 1987. Ia memulai perjalanannya dari Pelabuhan Ratu. Di hari pertama, ia sempat gagal mencapai Bangka karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Tapi, dengan sedikit nekat, ia melan- jutkan ekspedisinya dua hari kemudian setelah mengembalikan rasa percaya dirinya di salah satu gugusan Pulau Seribu.

Perjalanan ke Bangka selama dua hari akhirnya berhasil ditempuh Effendy dengan menggunakan perahu kecil yang panjangnya hanya enam meter. Tahun-tahun berikutnya, rutenya makin jauh hingga ke negeri jiran, Brunei Darussalam dan Malaysia. Jarak ribuan mil itu tak selamanya ditempuh sendirian. Beberapa kali ekspedisi yang dilakukannya juga menyertakan orang lain, salah satunya kelompok pencinta alam Trisakti. “Saya mengajak mereka karena tidak ingin hebat sendiri. Saya ingin menciptakan pesaing untuk saya,” ujarnya.

Menurutnya, jika ia berjalan sendiri saja, prestasinya akan makin tinggi, sendirian. Padahal, yang diinginkannya adalah menciptakan generasi-generasi yang memiliki semangat kebaharian sebagai bangsa dengan wilayah maritim cukup luas. “Kalau saya sudah ber- hasil menjangkau Jakarta-Brunei, orang lain mau menyaingi saya, nanti akan susah. Maka itu, lebih baik saya ajak dan saya kembangkan sendiri,” kata Effendy.

Memang, pelayaran tunggalnya dengan perahu cadik ke wilayah luar Indonesia dilakukannya sendiri. Ekspedisi secara berkelompok hanya dilakukannya saat berkeliling nusantara. Kini, perahu cadik yang berjasa membawa Effendy berkelana itu telah mengakhiri perjalanannya di Museum Bahari Indonesia.

Ia memutuskan memuseumkan perahunya seiring dengan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada 1998, termasuk di tempat ia bekerja sebagai wartawan, di Tabloid Mutiara. “Merawat perahu tak semudah merawat mobil,” ujarnya. Setelah memuseumkan perahu cadiknya, Effendy menghabiskan waktunya dengan menjadi karyawan di sebuah perusahaan produsen perahu, PT Carita Boat.

Regenerasi
Tak pelit berbagi ilmu. Begitulah Effendy. Menjelang usianya yang ke-60 tahun pada 23 April mendatang, lelaki yang masih keturunan panglima kesultanan Ternate dan ibu dari Bugis Makassar ini akan melaksanakan ekspedisi terbarunya, Ekspedisi Bahari Nusantara 2011.

Ekspedisi tersebut akan menempuh jarak lebih dari 6.700 mil dengan rute Jakarta-Sabang-Merauke-Jakarta. Perjalanan direncanakan memakan waktu tiga bulan, dan akan singgah di 26 kota serta 19 provinsi.

Bertepatan dengan usianya yang ke-60 tahun itu, Effendy akan memulai perjalanannya lagi. Dan, tanpa disadarinya, tanggal 23 April itu ternyata bertepatan dengan Hari Saraswati, yang bagi kepercayaan orang Bali dikenal sebagai hari saat diturunkannya ilmu pengetahuan. “Entah kebetulan atau tidak, waktu melihat kalender Bali, ternyata tanggal 23 itu bertepatan dengan Hari Saraswati, yang bagi orang Bali diperingati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan,” ujar Effendy.

Kali ini, ia mengajak empat orang lagi yang terdiri atas anggota pramuka saka bahari, kelompok pencinta alam, anggota Angkatan Laut, dan wartawan. Keempat orang tersebut, akan berganti personel di setiap daerah yang disinggahinya. Menurut Effendy, penyeleksian orang-orang yang akan menyertainya dari berbagai daerah itu sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Persyaratannya umum saja, berbadan sehat dengan usia tak lebih dari 30 tahun, dan tentu saja pandai berenang.

“Usia saya sudah tak muda lagi, saya ingin menyiapkan kader dan Effendy Soleman Effendy Soleman lain,” kata dia. Satu kebanggaan Effendy adalah ketika banyak orang yang bertanya dan memintanya berbagi pengalaman tentang kelautan dan perkapalan. Ia memang bukan ahli dalam membuat dan mendesain kapal dengan hitungan-hitungan yang njelimet. Namun, pengalaman berkawan dengan ombak serta ganasnya perairan luas menempanya menjadi seorang yang sangat hapal bagian-bagian kapal, serta bernyali seolah memiliki cadangan nyawa.

Perjalanan keliling nusantara berikutnya itu, akan dilakukannya dengan sebuah perahu bernama Katir Nusantara 2. Perahu yang dibikin oleh seorang tukang perahu di Cilebut, Bogor, itu dirancangnya sendiri. Gulungan ombak dan pekatnya awan saat badai datang, berkali-kali sudah ditemuinya. Namun, Effendy selalu meyakini, setelah badai sirna, matahari akan selalu terbit lebih cerah dan menimbulkan semangat yang membara. Berbagai cara memang bisa dilakukan untuk menunjukkan kecintaan pada Tanah Air. Dan bagi Effendy: Tanah adalah rumah dan Air adalah halamannya. Berbagi pengalaman dan rasa, mem bangun jiwa bahari untuk generasi muda, itulah yang ingin dilakukannya.
Oleh Andi Nur Aminah

0 comments:

Post a Comment

 
Powered by Blogger